Selasa, 21 April 2009

Metode Sejarah

kelompok 1
ARIFAI 076403020007
YULISON WENDA 086403020007
ABEL TABUNI 070403010002



FILSAFAT SEJARAH:Dari Politik Pendidikan Hingga Berpikir Sejarah(Gagasan Teoritik-aplikatif Antara Ilmu Sejarah danProses Pembelajaran Sejarah di Tingkat SMA)

Oleh Sucipto Ardi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Konteks Kajian

Berdasarkan kajian historis, perjalanan system pendidikan di Indonesia sudah cukup panjang. Sejak mengawali periode sejarah, masyarakat Nusantara telah mengenal sistem pendidikan keagamaan, yaitu Hindu dan Budha. Untuk agama Hindu, lebih menekankan system pendidikan pada kelompok Brahmana, dan putra kerajaan. Secara umum, masa tersebut pararel dengan sistem kasta yang berlaku pada masyarakat Hindu. Dengan latar belakang inilah, sistem pendidikan agama Hindu kurang memasyarakat di bumi nusantara ini.

Berbeda dengan agama Budha yang tidak mengenal sistem kasta, maka pendidikan yang diterapkan jauh lebih memasyarakat. Begitupula pada jaman kesultanana Islam. Masa ini, pendidikan diutamakan, terutama diperuntukkan sebagai sarana berdakwah. Dakwah tidak hanya urusan semangat keagamaan bagi pribadi setiap muslim, akan tetapi merupakan fokus utama bagi kesultanan untuk menerapkan syariat Islam. Kenyataan masa lalu jaman kesultanan, menunjukkan bahwa kedudukan politik didalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan.[1] Tanpa otoritas politik, syariat Islam mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana guna mempertahankan syiar Islam, yakni bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu tidak mungkin tercapai, kecuali dengan melaksanakan ajaran Islam. Dengan kata lain, syariat tidak akan berjalan apabila ummat tidak memahami ajaran Islam itu sendiri. Untuk itulah, maka pendidikan bergerak dalam usahanya mentadarkan ummat Islam agar mampu melaksanakan syariat. Artinya, ummat tidak akan mengerti syariat tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berfungsi mengayomi dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan arus bawah.

Selanjutnya pada jaman kolonial Belanda, pendidikan bersifat eksklusif, seperti pada jaman Hindu. Pendidikan tidak banyak dinikmati oleh masyarakat banyak, akan tetapi hanya sebagian tertentu saja, khususnya kaum bangsawan, atau priyayi pribumi. Kajian keilmuan, terutama sejarah untuk bangsa Indonesia, masih terkonsentrasi pada kejayaan masa yang lebih bersifat diskontinuitas dan tentunya bergerak untuk kepentingan ilmiah semata. Walaupun demikian, kaum nasionalis seperti Soekarno dan Moh. Yamin, mulai menggagas terbentuknya bangsa ini melalui sejarah. Dan, kesemua itu berlanjut pada jaman Jepang, serta semakin intens pada jaman kemerdekaan.

Sejak merdeka, pencaraian jati diri bangsa yang secara formal diciptakan untuk kepentingan negara dimulai dengan diadakannya Seminar Sejarah Nasional tahun 1957. Sejarawan seperti Moh. Yamin, dan Sartono Kartodirjo menggungkapkan pemikiran-pemikirannya untuk bangsa ini. Filsafat sejarah spekulatif, maupun kritis menjadi kajian utama dalam seminar tersebut, dan selanjutnya kedua tema ini, selalu menjadi agenda utama yang tidak pernah terputus dalam seminar skala nasional lainnya hingga kini. Kajian filsafat sejarah nasional menekankan kepada arah tujuan sejarah dan bangasa Indonesia. Dilukiskan pula peranan-peranan para pejuang lokal yang melakukan perlawanan secara bersenjata dengan sistem tradisional, sampai founding father yang ingin memerdekakan Indonesia melaui organisasi moderen, dan kemudian berkesempatan memproklamirkan kemerdekaan, sebagai bagian penggerak sejarahnya.

Guna menjembatani hal tersebut sampai ke masyarakat, sejarah ditulis tidah hanya sebagai legitimasi keyakinan tersebut, akan tetapi dilakukan melalui kaedah-kaedah metode ilmiah[2]. Filsafat kritis ini yang selalu mengutamakan keutamaan nasionalisme Indonesia, dan bergaya lama dalam penulisan sejarah, cukup berhasil dalam memupuk nasionalisme Indonesia. Dengan gelora Indonesiasentris, penciptaan jatidiri, sekaligus pencitraan bangsa Indonesi terlihat cukup memuaskan warganegranya.[3] Pemahaman tentang sejarah Indonesia agar dapat menyeluruh kepada rakyat Indonesia adalah melalui proses pendidikan, yang dalam hal ini termasuk lembaga pendidikan, yakni sekolah.

Sejak sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah (SMA), rakyat Indonesia mendapatkan pembelajaran sejarah. Ideologi politik pemerintah, juga mengalir deras dalam pelajaran sejarah pada level ini. Oleh karenanya, beberapa penjelasan masalalu dalam analisisnya berlangsung tidak ilmiah, dan banyak kekurangannya secara metodologis. Sehubungan denga hal tersebut, adalah tidak dapat dipungkiri sejarah yang diajarkan disekolah bersifat naratif, cerita belaka saja. Bagi guru yang pandai mengungkapkan cerita dengan baik, maka sejarah menjadi hal yang menyenangkan, bahkan seringkali menjadi inspirasi siswa untuk kehidupannya dimasa depan. Sebaliknya, bagi guru sejarah, yang seringkali adalah guru yang bukan berlatar belakang pendidikan sejarah, maka pelajaran sejarah terlihat kering. Kesan bahwa pelajaran sejarah membosankan, dan tidak lebih hafalan dari deretan angka tahun, dan peristiwa, sudah menjadi pencitraan bagi sejarah.

Kenyataan itu semakin diperparah dengan kurikulum yang mengharuskannya mengikuti standarisasi yang tercantum, dan cenderung berubah ketika naik dan turunnya seorang pemimpin (presiden). Masyarakat merasa dibohongi dengan sejarah, begitupula kebingungan guru sekolah yang harus konflik batin, antara seorang ilmuan sejarah, dengan kewajibannya mengajarkan sejarah yang seringkali berseberangan dengan kadar keilmiahannya. Hal demikian tidak berhenti sampai disini, penerapan pembelajaran sejarah dikelas mendapatkan dampaknya. Selain faktor ideologis tersebut, disampingkannya pelajaran sejarah oleh guru-guru dan siswa karena proses belajar yang terjadi selama ini berkesan teramat mudah—hanya hafalan, menjadikannya sebagai tugas luas, bukan hanya guru yang bertugas menyampaikan sejarah, namun pemerintah yang menjaga negara dengan usaha nasionalisme kedalam diri anak-anak Indonesia melalui sekolah.

2.2. Fokus Masalah

Dimensi permasalahan yang hadir dari kenyataan selama ini di dunia pendidikan Indonesia seperti dijabarkan pada konteks kajian di atas, memperlihatkan keberagaman, sekaligus saling terkait, bahkan rumit. Pertama, perumusan filsafat sejarah spekulatif yang diterjemahkan sebagai filsafat sejarah nasional Indonesia[4], terlihat lebih jelas sebagai antithesis dari Eropasentris, telah membawa suatu pemahaman bahwa bangsa Indonesia adalah bodoh, bangsa Eropa hanya pembawa kehancuran, dan diskontinuitas. Pada titik nadirnya, salah satu akhir sejarah Indonesia tidak lebih sebagai egosentris bangsa dengan kecenderungan memihak. Tenaga pendorong seperti para pejuang, yang kemudian diakui sebagai pahlawan, harus disoroti lebih baik. Pahlawan juga manusia, memiliki kelemahan, dan kesan ideal tipe yang digagas dalam tulisan sejarah di sekolah terutama, ditempatkan secara proporsional, begitupula kekuatan rakyat-massa.

Filsafat sejarah nasional Indonesia harus manusiawi, bukan normatif. Kedua, filsafat sejarah kritis. Permasalahan metodologis ini, termasuk masalah yang menarik dalam historiografi Indonesia, khususnya sebagai format atau versi resmi pemerintah. Gejala masalah obyektivitas dan subyektivitas, telah menjadi pergulatan kaum ilmiah sejarah di Indonesia. Hal demikian mengingat, ada dua kepentingan besar, yaitu profesionalisme cendikiawan dan keberlangsungan sebuah bangsa. Sehingga, hampir dapat dipastikan, produk yang dihadir bernuansa politis. Dan, sejarawan akademis tidak dapat berbuat banyak, khususnya menyediakan media pembelajaran bagi siswa di sekolah. Ini terjadi pada masa Orde Baru, dimana sejarah ditulis demi melanggengkan kekuasaan. Selanjutnya diturunkan ke anak didik melalui kurikulum yang mengikat guru, dan buku pelajaran sejarah yang berorientasi kepada pengukuhan kekuasaan, dan bukan kreatifitas dalam berfikir sekaligus bertindak. Ketiga, kemampuan personil guru sejarah di sekolah. Haruslah diakui, guru sejarah disekolah sedikit sekali ditemui yang benar-benar kompeten. Kompeten sebagai guru yang mampu menghayati sejarah, memiliki strategi abstrak dan konkrit dalam proses perencanaan, pembelajaran, dan evaluasi. Ini pada dasarnya menohok kepada proses perekrutan guru melalui lembaga pendidikan tinggi keguruan. Selain lemahnya peminat menjadi guru sejarah, pada praktiknya di sekolah, seringkali posisi guru sejarah diisi oleh guru non pendidikan sejarah karena tidak memiliki jam mengajar. Dengan kata lain, guru sejarah di sekolah adalah posisi yang tidak penting, namun dijadikan wilayah strategis bagi ideologi pemerintah. Oleh karenanya, memposisikan guru sejarah yang tidak kritis sama saja menancapkan politik kekuasaan secara permanen kepada masyarakat.

Terkait pada bagian ketiga tersebut, adalah hal yang lazim kalau sejarah tidak berdiri pada titik idealnya, yaitu sebagai proses berfikir kritis untuk kemajuan bangsa. Inilah masalah yang keempat, proses pembelajaran yang berlangsung kurang memberikan kesan edukatif, inspiratif, instruktif, dan rekreatif.[5] Dengan kata lain, fungsi sejarah sebagai motivator perjuangan, pendorong kebangkitan nasional, dan pembentuk identitas nasional, harus digagas kembali. Fenomena ini, dilihat dari sisi sejarah, linear dengan realitas di Indonesia yang selalu bergejolak, bernuansa spartisme. Artinya, kesadaran sejarah harus diusahakan sedemikian rupa melalui sekolah, yang tentunya dengan cara berfikir ilmiah guna kemaslahatan bangsa Indonesia

Paparan permasalahan tersebut adalah bentuk realistik pada dunia pendidikan SMA di Indonesia beberapa puluh tahun lalu, bahkan sampai sekarang ini. Adalah tidak berlebihan apabila diyakini, pembelajaran sejarah di dalam sekolah terkait erat dengan politik kekuasaan yang berkuasa, dan itu diwujudkan dalam media pembelajaran, kurikulum, dan kebijakan lainnya menyangkut pendidikan. Dengan demikian, persoalan pelajaran sejarah di sekolah, khususnya SMA, tidaklah mungkin dapat dijelaskan dan dipahami hanya dengan melihat perspektif pembelajaran semata, akan tetapi perlu juga dilihat dari perspektif politik dan sosial. Sehingga yang menjadi fokus masalah dalam tulisan ini adalah, kekuatan politik pemerintah sekaligus berbagai terjemahan birokratifnya, dengan kompetensi guru sejarah berikut usahanya dalam melaksanakan pembelajaran sejarah pada level SMA.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan fokus masalah yang melingkupi kancah pembelajaran sejarah di level SMA, yang didalamnya termasuk politik kekuasaan dan kompetensi guru sejarah, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah keterkaiatan antara nilai-nilai ilmiah yang dimiliki guru sejarah dengan usaha penerapannya dalam proses pembelajaran sejarah di SMA?
2. Gagasan-gagasan seperti apakah yang akan dihasilkan dan dapat laksanakan, guna mencapai proses pembelajaran sejarah yang ilmiah tanpa meninggalkan pembentukan ide nasionalisme Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan

Harapan dari penulisan ini adalah dapat meyakinkan pembaca, bahwa pembelajaran sejarah disekolah merupakan bagian dari konfigurasi politik yang besar, yakni pemerintah nasional Indonesia. Selanjutnya, pemahaman realitas dari dinamika hubungan tersebut, diharapkan muncul gagasan-gagasan teoritis yang aplikatif bagi pembelajaran sejarah pada level SMA, yaitu suatu semangat baru secara ilmiah dan berfungsi pula dalam usaha membangun identitas nasional dan nasionalisme Indonesia.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. Filsafat Sejarah dan Kesadaran Sejarah

Filsafat Sejarah terbagi menjadi dua, yakni filsafat sejarah spekulatif dan filsafat sejarah analitik.[6] Untuk yang pertama dikenal sebagai filsafat sejarah spekulatif, yang memiliki dasar peranyaan tentang: “awal, akhir, dan yang menggerakkan sejarah?”. Selanjutnya yang kedua mendasarkan pertanyaan kepada: “apakah sejarah itu, dan untuk apa sejarah itu?”. Artinya, mempersoalkan sejarah sebagai suatu disiplin ilmu, didalamnya terdapat metodologi, metode sejarah, dan nilai-nilai keilmiahan lainnya. Memperhatikan hal demikian, filsafat sejarah, baik itu spekulatih maupun analitik, harus ditempatkan sebagaimanamestinya. Setidaknya ada tiga hal penting menyangkut hal ini, yaitu filsafat sejarah dapat digunakan untuk menjelaskan mengenai sesuatu yang sangat mendasar dari segi sejarah atau dengan kata lain mencoba dari segi intelektual menjawab pertanyaan: “apakah makna hidup ini?”.

Kedua, menegaskan keterkaitan antara masa sekarang dengan masa lalu, segi kontinuitas ini adalah usaha mempertahankan identitas manusia. Terakhir, ketiga, dalam gejolak atau ketidakpastian, filsafat sejarah menjadi pegangan sebagai sebuah kunci keyakinan. Ini semua merupakan kolaborasi antara filsafat sejarah spekulatif yang cenderung menduga-duga, dan analitik yang ilmiah. Filsafat sejarah analitis dapat dibedakan dengan filsafat sejarah, namun kedua-duanya berjalan secara beriringan, dan saling mempengaruhi. Dengan demikian, Filsafat sejarah nasional Indonesia merupakan satu kesatuan kedua filsafat tersebut. Sehingga, historiografi sejarah maupun ilmuan sejarah (sejarawan) merupakan produk yang mampu menjadi gagasan keinsafan, sebuah kesadaran sejarah. Sebagai buku, gagasannya menjadi acuan inspirasi bagi yang membacanya, selaku pendidik/guru, sejarawan sebagai percontohan hidup, sekaligus inspirator kepada anak didiknya, yang kesemuanya itu menciptakan mentalitas manusia Indonesia yang luhur.

Kesadaran sejarah ini, adalah sikap mental, jiwa pemikiran yang dapat membawa untuk tetap dalam rotasi sejarah. Artinya, dengan adanya kesadaran sejarah, manusis Indonesia seharusnya menjadi semakin arif dan bijaksana dalam memaknai kehidupan ini. Dalam realitas yang nyata, pada proses pembelajaran sejarah di level SMA, guru dan siswa tidah hanya: “bagaimana belajar sejarah”, “melainkan belajar dari sejarah”. Prinsip pertama, akan membawa anak didik pada setumpuk kisah dan data tentang peristiwa masa lampau yang syarat romantika, sedangkan prinsip kedua akan mengisi jiwa anak didik dengan sikap yang lebih arif dan bijaksana, sebagai bentuk terinti dari kesadaran sejarah.

2.2. Politik Pendidikan Nasional

Politik pendidikan atau The Politics of Education merupakan gambaran tentang relasi antara proses munculnya berbagai tujuan pendidikan dengan cara-cara penyampaiannya. Dengan kata lain, memfokuskan pada kekuatan yang menggerakkan perangkat pencapaian tujuan pendidikan dan bagaimana, serta ke mana perangkat tersebut diarahkan. Politik pendidikan terkonsentrasi pada peranan negara dalam bidang pendidikan, sehingga dapat menjelaskan pola, kebijakan, dan proses pendidikan serta berbagai asumsi, maksud, dan outcome dari berbagai strategi perubahan pendidikan dalam suatu masyarakat secara lebih baik. Politik pendidikan juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang keterkaiatan antara berbagai kebutuhan politik negara dengan isu-isu praktis sehari-hari disekolah, tentang reproduksi struktur dan kesadaran kelas, tentang berbagai bentuk dan subordinasi yang sedang dibangun dan dibangun kembali melalui jalur pendidikan, dan tentang bagaimana perkembangan dan keruntuhan suatu hegemoni.[7] Politik pendidikan ini teramat luas, seperti halnya filsafat sejarah yang menguraikan awal, perjalanan dengan kekuatan penggeraknya, dan akhir suatu sejarah. Namun demikian, keterlibatannya terhadap proses pembelajaran sejarah pada level SMA begitu terlihat. Beberapa hal menarik adalah tentang negara nasional yang digagas Muhammad Yamin, dan diajarkan di SMA pada masa Orde Lama, serta berbagai kontroversi, seperti SP 11 Maret 1966, G30SPKI, dan Serangan Umum di Yogyakarta. Untuk yang pertama, materi sejarah tidak berlandaskan kepada kajian ilmiah. Beberapa buku pelajaran sejarah ketika masa Orde Lama menuliskan, bahwa negara nasional Indonesia saat itu merupakan negara nasional yang ketiga setelah negara nasional Sriwijaya, kemudian negara nasional Majapahit.

Sampai hari ini, tidak ada kajian satupun yang mengasosiasikan secara ilmiah, bahwa konsep kerajaan masalalu adalah serupa seperti negara moderen abad 20. Ini jelas ditulis secara politis untuk sebuah legalitas identitas suatu bangsa yang besar, dalam hal ini Republik Indonesia. Dan, bukan hanya pada media pembelajaran, sejarah ini disalurkan kepada anak didik di SMA dalam proses belajar mengajar. Kedua, kontroversi sejarah yang sampai sekarangpun masih berlangsung telah membingungkan guru, anak didik, maupun masyarakat. Apabila masa Orde Lama, penulisan sejarah untuk tingkat SMA terkesan untuk kepentingan politik negara, maka tidak demikian jaman Orde Baru. Dengan menggunakan kemampuan sejarawan militer, sejarah yang ditulis berisikan kehebatan bangsa dengan kekuatan militer tanpa menghilangkan peranan tunggal seorang pahlawan, dalam hal ini Suharto. Hal ini dapat dilihat pada pelajaran SMA kelas 2 dalam kurikulum 1994, dan kelas 12 dalam KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dimana peranan tunggal diposisikan sebagai penentu peristiwa. Kontroversi lainnya terdapat pada kisah penanganan G30SPKI yang dilanjutkan dengan SP 11 Maret.

Selain ini membuat sebuah alur berfikir yang mono factor, ini juga memberatkan secara ilmiah karena banyak bukti sejarah yang tidak dipergunakan dalam merekonstruksi peristiwa tersebut. Keberadaan kontroversi ini, setidaknya dilegalitas dengan dicantumkannya dalam kurikulum sejak tahun 1975. Penataran-penataran yang dilakukan untuk guru sejarah, yang juga tidak lebih sebagai sebuah indoktrinasi ideologi negara, semakin menguatkan campur tangan, bahkan cengkraman politik pemerintah terhadap guru. Dilihat dari semangat kebebasan, guru telah menjadi obyek politik negara yang bersifat birokratif, dengan wujud mengikuti instruksi-instruksi dari atasannya. Guru tidak dijdikan subyek yang diberikan keluangan mengolah dengan kadar ilmiahnya, sebagai wujud sebuah proses profesionalisme. Namun, semua itu, terkendala oleh karena sistem pendidikan bersifat terpusat yang juga merupakan bagian dari politik nasional yang bersifat sentralistik, setidaknya sampai tahun 1998.

Seiring runtuhnya politik pemerintah pada tahun 1998, hadir pula berbagai historiografi yang mencoba meluruskan sejarah. Namun, kenyataan yang ada, tulisan dengan semangat memperbaiki sejarah, tidak membawa manfaat positif bagi guru, sekaligus anak didik. Berdasarkan pengamatan penulis, antara tahun 1998-2007, historiografi yang berseberangan dengan versi resmi pemerintah, banyak yang menghujat atau fight back terhadap pemerintah lalu. Hasilnya, sama saja, hanya sekarang dibalik: “historiografi masa lalu dianggap salah, karena menghujat tanpa bukti dan cenderung memanipulasi, dan historiografi sekarang diyakini kebenarannya, karena mampu membuka kekurangan, keburukan, dan mencaci pemerintah lalu yang menuliskan sejarah dengan data baru yang belum tentu benar adanya”. Semua masih mencari, bahkan sebuah tim yang diisi oleh sejarawan terbaik Indonesia, semisal Taufik Abdullah, dan dibiayai oleh pemerintah untuk menuliskan (kembali) sejarah Indonesia, sampai dipenghujung tahun 2007, belum mengeluarkan satu jilidpun. Melihat kebingungan yang melanda masyarakat Indonesia, khususnya pada diri pendidik sejarah di sekolah, tim tersebut jauh lebih penuh pertimbangan, dan ilmiah dalam pembahasannya.[8] Perilaku politik pemerintah dalam konfigurasi pendidikan nasional, khususnya dalam pelajaran sejarah, tidak mungkin dapat berhenti.

Dalam sejarah manapun didunia, pelajaran sejarah merupakan sarana yang paling strategis untuk melegitimasi, memperkokoh, dan mengukuhkan identitas, baik itu untuk bangsanya, maupun untuk kepentingan politik kelompok tertentu. Kini dengan hadirnya KTSP, yang merupakan kurikulum lokal, guru dapat berharap banyak untuk diposisikan sebagai subyek dalam dunia pendidikan, terutama dalam pembelajaran. Saya optimis, dengan kurikulum baru yang dikeluarkan tahun 2006 itu, membawa semangat ilmiah sekaligus tanggung jawab sebagai warganegara Indonesia. Artinya, guru akan me-re-disain komposisi kurikulum dari pemerintah dengan mengindahkan standarisasi yang jauh lebih profesional, bukan birokratif. Selanjutnya, nilai-nilai keilmiahan menjadi benteng pertama dan utama dalam pembelajaran sejarah, dengan mengolahnya secara menarik guna menuju keindonesiaan agar terlibat pada gagasan utility, NKRI.

2.3. Ilmu Sejarah dan Pembelajaran Sejarah di SMA

Indonesia kini, termasuk didalamnya adalah pendidikan, sedang mengalami satu proses transisi secara besar-besaran, sebuah perubahan nilai-nilai kehidupan. Dalam proses transformasi nilai ini, sering timbul ketegangan antara aspek kemapanan dengan pembaharuan. Realitas kultural yang telah mapan cenderung mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada sebagai pedoman utama. Setiap perubahan atau penyimpangan dari nilai yang ada, dianggap membahayakan realitas yang sudah mapan itu.[9] Guna mempertahankan kemapanan tersebut, seperangkat justifikasi dilakukan. Pendidikan merupakan pilihan yang lebih menjanjikan untuk dijadikan aparatus represif dan ideologis. Selanjutnya, sekolah dijadikan media penjinakkan, salah satunya melalui pelajaran sejarah. Pola ini merupakan pola klasik sejak jaman dahulu, setidaknya terkhusus pada masa Orde Baru 1996-1998. Ilmu sejarah yang kajiannya berdasarkan kaedah-kaedah ilmiah, jujur, dan argumentatif dipinggirkan dari panggung persekolahan. Buku pelajaran sejarah yang ditulis, lebih banyak mengabdi kepada kekuasaan dari pada keilmiahan. Kisah-kisah sejarah yang terkait dengan penguasa, dan tentunya sedikit fakta yang terungkap, dibuat sebuah interpretasi yang menyemangati rasa kebanggan, dan kebangsaan kita. Pembaca yang tidak kritis, pasti akan larut dalam historiografi yang minim nilai keilmiahannya. Bahkan, banyak kisah sejarah yang hanya ditulis dalam 2-3 paragraf. Ini sudah menunjukkan ketidakprofesionalan dan sindiran sejarah yang berbunyi: “semakin sedikit eksplanasinya, maka semakin banyak bohongnya”. Kekuatan represif politik penguasa, melanggengkan hal demikian dan menjadi mapan, terutama di sekolah. Anak didik menjadi subyek yang patuh, tetapi tidak kritis. Kemapanan yang tidak mendidik lainnya juga merambah kepada sejarawan dan guru. Tidak banyak dihasilkan, historiografi sejarawan akademis yang membahas kisah sejarah dengan takaran kritis, menggugat, dan antikemapanan terhadap pemerintah yang dianggap mapan, seperti Orde Baru. Resiko yang begitu besar, banyak menyurutkan niat sejarawan untuk merealisasikan ide-ide kritisnya. Sebagai kajian interaksi antara ilmu sejarah dan pendidikan, maka sejarawan ilmu murni, bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi sekarang ini menyangkut kebingungan masyarakat tentang sejarah.

Kebingungan atau keresahan jatidiri masyarakat tersebut, berasal dari tulisan sejarah. Namun, banyak yang tidak memahami, bahwa tulisan sejarah bukanlah seperti ilmu alam yang pasti atau hukumnya bersifat umum. Jadi, apabila ada perbedaan kesepahaman, itu adalah hal yang lazim. Ketidakpahaman ini, berlanjut dengan tanpa adanya dukungan pihak-pihak pasar untuk menerbitkan dan menyebarluaskan, pemikiran sejarawan yang mngedepakan nilai-nilai ilmiah, dan jujur. Sehingga mereka hidup di “menara gading”, yang hanya berkelana serta dikonsumsi oleh dan dalam lingkungan akademis. Dengan kata lain, tulisan sejarah kritis tidak dapat menyentuh masyarakat umum, malah sebaliknya buku sejarah yang sepaham dengan arah politik pemerintah didistribusikan sampai ke pelosok satuan wilyah, seperti desa ataupun kelurahan. Dibagian lainnya, pendidikan jauh lebih banyak bertanggungjawab. Guru mata pelajaran sejarah khususnya, adalah frontier bagi pemahaman awal formal bagi penerus bangsa, anak didik di sekolah. Boleh jadi, apa yang dikatakan guru sejarah, akan terus dianut, bahkan dijadikan acuan bagi anak tersebut hingga dewasa nanti. Mereka mengetahui seluk-beluk sejarah Indonesia dari guru sejarah, dan mereka bangga atau mencaci maki bangsa atau negara Indonesia, oleh karena pemahaman mereka terhadap kebesaran sekaligus keburukan Indonesia.

Dilihat dari segi pembelajaran, yang sering terekam oleh siswa, bahkan sampai mereka berkeluarga adalah proses pembelajaran sejarah berlangsung tidak menyenangkan. Stigma kalau mata pelajaran sejarah membosankan, hafalan, “tidak enak”, telah menjadi label khas. Terlebih lagi, ada juga yang merendahkan bahkan merasa apatis dan antipati terhadap mata pelajaran sejarah di sekolah. Boleh jadi, pelajaran sejarah yang diuraikan pada satuan pendidikan tidak mampu membekali siswa untuk siap dikemudian hari. Padahal menurut Brunner (1960) yang dikutip Widja, menyebutkan bahwa sasaran utama dari setiap kegiatan belajar, terlepas dari kesenangan yang mungkin diberikannya, adalah bahwa kegiatan belajar itu harus membantu kita dimasa depan.[10] Sebagai kesadaran sejarah yang kontinitas dan diperkuat pendapat psikolog tersebut, maka strategi pembelajaran sejarah yang lebih segar dan visioner merupakan suatu kebutuhan. Pembelajaran sejarah bertumpu kepada makna watak tridimensi waktu, yakni masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Memperhatikan ketiga kata tersebut, berarti sejarah (cenderung) praxis, artinya nilai guna sejarah menjadi hal yang utama. Nialai guna paling utama pada bagian ini adalah: bagaimana belajar dari sejarah, sehingga siswa dapat tanggap (responsif) terhadap hari ini, dan mendatang.

Dalam proses pembelajarannya, kompetensi akademis guru, minat dan bakatnya, sangat menentukan apakah pelajaran sejarah dapat berlangsung ceria ataupun datar. Selain itu, metode pengajaran janganlah berkisar kepada hafalan belaka, namun inqury atau problem solving dengan suasana dialogis demokratis yang diawali oleh guru, untuk diterapkan bersama siswa. Daya tarik terhadap mata pelajaran sejarah, akan muncul dengan sendirinya oleh karena mereka aktif dalam memaknai sejarah. Terlebih lagi, apabila ikut dalam menulis sejarah. Sebuah proyek penelitian sejarah, bukan hanya menjadi tantangan intelektual siswa, namun menjadi lebih menggairahkan, terutama sejarah yang dibangun bersentuhan dengan kenyataan terdekat, misalnya menulis sejarah lokal. Dalam metode ini, guru dan siswa menjadi kolega. Mereka bekerjasama. Guru harus memiliki bekal yang cukup, bahkan harus banyak. Kompetensi membawakan materi sejarah didalam kelas, bukan hanya harus menarik, tetapi juga harus berani ungkapkan kelemahan-kelemahan fakta yang ada. Dengan kata lain, pembelajaran sejarah seperti memasak menu makanan “setengah matang”, banyak low fact yang terpaksa diungkapkan karena tuntutan kurikulum. Disinilah salahsatu pilar utamanya, bahwa pembelajaran sejarah harus kritis, no taken for granted. Rumitnya masa lalu karena banyak aspek yang melingkupinya, seperti halnya hari ini, mengharuskan sebuah pembelajaran sejarah menggunakan pola kajian multidimensi. Pendekatan yang dirintis oleh Sartono Kartodirjo (wafat 07 Des 2007) untuk menulis sejarah, dapat dijadikan acuan. Artinya, guru dituntut agar mumpuni dalam ilmu bantu sejarah, semisal sosiologi, antropologi, psikologi, politik, ekonomi, pendidikan, dan agama. Sehingga, dapat diharapkan memiliki kemampuan berpikir historis[11], sebuah cara untuk mengasah intelektual individu, dan memutuskan pilihan dalam bertindak. Berpikir historis lebih luas dari metodologi yang berlaku hanya dalam konteks penelitian tertentu. Ia menawarkan sebuah usaha memahami masa lalu yang kompleks, seperti kehidupan sosial sekarang ini. Sehubungan dengan kompleksitas, penggunaan pendekatan multidimensi tersebut, merupakan pendekatan yang relevan terhadap kenyataan kehidupan manusia masa lalu, maupun masa sekarang..

Dasar inilah, yang akan kekal dipakai, selama kehidupan manusia dalam masyarakat dan perjalanan waktu, tetap kompleks juga. Kesulitan, atau keragaman kehidupan (kompleksitas), mengajak untuk berpikir lebih teliti, menimbang, memilah, dan menilai, sekaligus menarik kesimpulan, begitupula tentang masa lalu. Berpikir sejarah menawarkan agar dapat, minimal menjadi orang yang teliti dan memiliki penilaian yang jitu. Masa kini dan masa lalu, pilihan dan kontradiksi, menjadi hal-hal yang senantiasa dianalisis. Berpikir sejarah, disatu sisi mampu menyelami masa lalu, mencoba memahami konteks jamannya (historical minded), dan pada bagian lainnya, memanfaatkan pemahaman tersebut menjadi proses “memanusiakan” manusia, sehingga dapat bertindak lebih paham, humanioris, berperasaan, arif, bijak, dan tentu menjadi penilaian serta pemikiran yang lebih jelih, teliti sekaligus kritis. Dengan kata lain, masa kini dan masa lalu dikontradiksikan menjadi awal sebuah perbandingan, dan sebuah singkronisasi, agar dapat diperoleh pemahaman yang serupa, sama, tanpa mereduksi (mengurangi) makna masa lalu, dan menerapkan untuk kepentingan masa kini agar lebih manusiawi.

Cara mengajar guru sejarah, dapat memberi efek yang besar sekali dalam menyebabkan ataupun mengatasi kekurangmenarikan dalam proses pembelajaran sejarah. Harus dipahami bahwa tidak satupun metode pengajaran yang dapat dianggap terbaik, yang penting menerapkan suatu metode tidak secara monoton. Atau dengan kata lain, metode pembelajaran tidak lagi semata-mata ceramah atau diskusi. Pembelajaran sejarah menuntut penggunaan multimode dan multimedia. Metode pembelajaran sejarah tidak bisa tunggal, tetapi metode penyajiannya harus jamak. Ini sesuai dengan materi yang disajikan dan keadaan para subyek didik serta cara mereka belajar dalam mengikuti mata pelajaran sejarah. Selanjutnya, apabila sejarah tetap hendak berfungsi dalam pendidikan, maka harus dapat menyesuaikan diri terhadap situsi sosial dewasa ini. Jadi, jika studi sejarah terbatas pada pengetahuan fakta-fakta akan menjadi steril dan mematikan segala minat terhadap sejarah. Dalam perspektif baru, pembelajaran sejarah harus progresif dan berwawasan tegas ke masa depan. Disini disamping unsur kesadaran identitas diri yang menjadi tujuan, pembelajaran sejarah progresif juga mengacu pada pengembangan segala potensi manusia yang salah satu kemampuan utamanya, adalah kemampuan nalar. Kemampuan nalar adalah unsur kunci bagi proses pendidikan yang antisipatif terhadap tantangan masa depan. Artinya, pembelajaran sejarah tidak akan mampu menjadikan peserta didik peka terhadap masa kini, dan terutama masa depan. Perspektif baru lainnya adalah pendekatan kreatif dalam pembelajaran sejarah. Pendekatan kreatif diarahkan sebagai pendekatan yang akan mampu mengembangkan kreativitas, pemikiran kreatif, dan pada akhirnya bermuara pada prilaku kreatif. Kretivitas perlu dikembangkan karena mencerminkan perwujudan diri, memupuk kemampuan berpikir divergen, memberi kepuasan dan dapat meningkatkan kualitas diri. Dengan kata lain, pembelajaran sejarah pada pendekatan ini, merupakan keterpaduan antara kemampun kognitif dengan kemampuan afektif, dimana merupakan hal yang sangat fundamental, sebab kehilangan salahsatunya apalagi keduanya sulit menjadikan sejarah menjadi mata pelajaran menarik dan dibutuhkan[12].

Berdasarkan hal tersebut, jelas bila pembelajaran sejarah lebih menekankan pada analisis dibandingkan dengan fakta sejarah, maka akan membuat peserta didik memiliki pemikiran kreatif, divergen yang pada dasarnya dapat menumbuhkan kegembiraan dan kebahagiaan, sebab ia dapat melahirkan kombinasi-kombinasi baru sebagai ciri kreativitas. Keadaan ini, dapat diawali dalam pelukisan sejarah oleh guru dengan menggunakan eksplanasi metodologis yang ilmiah, sekaligus analitis. Metodologi individualis dapat menjelaskan bagaimana perlawanan dan alam pikiran tokoh sejarah, misalnya perjuangan pangeran Diponegoro dan Sukarno. Untuk lingkup yang lebih luas, seperti perubahan sosial masyarakat karena proses industrialisasi sejak tahun 1870 di Indonesia, dapat mempergunakan metodologi holis. Sedangkan kombinasi dari keduanya, dikenal dengan metodologi strukturis. Sebuah usaha analitis dalam menjelaskan masa lalu, dengan memperhatikan tindakan individu dalam konteks tertentu, sekaligus menjelaskan struktur yang mempengaruhi, baik secara individu juga masyarakat yang lebih luas[13]. Pendekatan kreatif seperti dijelaskan sebelumnya, dapat membuat materi yang kadaluarsa dapat teratasi dengan baik, sebab guru sejarah dituntut untuk senantiasa mengikuti dan tanggap terhadap perkemabangan terakhir. Pembelajaran sejarah yang tidak berinteraksi dengan situasi sosial saat diajarkan, tidak akan membawa manfaat yang besar.

Dengan demikian, pendekatan kreatif merupakan alternatif jawaban, terhadap prinsip pembelajaran yang bersifat progresif, sama halnya sebagai pilihan solusi yang ditawarkan pada paparan sebelumnya seperti, berpikir historis, proyek sejarah antara guru dan siswa, eksplanasi metodologi individualis, holis, dan strukturis, inquiry, dan pendekatan multidimensi.

BAB III PENUTUP

Pembelajaran sejarah, selalu menjadi salah satu faktor penemuan dan pembentukkan jatidiri serta identitas suatu bangsa. Keterkaiatan politik pemerintah yang berkuasa, akan selalu juga, melekat, namun bukan berarti sejarah terkontaminasi dengan politik, walaupun salah satu kekuatannya, secara negatif dimanfaatkan untuk melanggengkan suatu kekuasaan. Kerangka inilah yang juga bergerak pada level bawah, yaitu mempengaruhi proses pembelajaran di tingkat sekolah, khususnya SMA. Sejarawan yang mementingkan nilai-nilai keilmiahannya, seakan tidak mampu berbuat banyak oleh karena tuntutan kurikulum yang seringkali membatasi kreativitasnya. Namun demikian, KTSP yang bernuansa lokal, memberikan peluang besar untuk berkesempatan memberikan pembelajaran sejarah yang lebih profesional. Artinya adalah, mendidik siswa agar memiliki kemampuan berpikir sejarah agar responsif terhadap tantangan masa kini, dan masa depan.

Guna mencapai harapan tersebut, pendekatan yang diterapkan dalam pembelajaran di level SMA, memerlukan ketelitian sesuai dengan materi yang akan dibahas. Dengan diajak berpikir kreatif dan aktif dalam memahami sejarah, maka pembelajaran mata pelajaran sejarah menjadi lebih bermakna, baik untuk siswa, guru, bahkan pembentukan generasi di masa depan.


Daftar Pustaka

Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya.

Leirissa, R.Z. 2007. Metodologi Sejarah. Makalah Bahan Perkuliahan S2 Pendidikan Sejarah PPs UNJ.

Lerissa, R.Z. Tanpa tahun. Filsafat Sejarah Spekulatif. Makalah Bahan Perkuliahan S2 Pendidikan Sejarah PPs UNJ.

Lerissa, R.Z. Tanpa tahun. Filsafat Sejarah Kritis. Makalah Perkuliahan S2 Pendidikan Sejarah PPs UNJ.

Nata, Abuddin (Ed.). 2001. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Grasindo. Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!.Yogyakarta: Ombak.

Sirozi, Muhammad. 2007. Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.

Widja, I Gde. 1987. Dasar-dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud.

Wineburg, Sam. 2006. Berpikir Historis: Memetakan Masa Depan, Mengajarkan Masa Lalu. Jakarta: YOI

http://suciptoardi.wordpress.com/2007/12/16/61/

1 komentar:

  1. judul :
    FILSAFAT SEJARAH:Dari Politik Pendidikan Hingga Berpikir Sejarah(Gagasan Teoritik-aplikatif Antara Ilmu Sejarah danProses Pembelajaran Sejarah di Tingkat SMA)

    type data :
    internal karena penulis mengambil data dari sumbernya

    variabel :
    independen = dalam mempelajari sejarah selalu menjadi salah satu faktor penemuan dan pembentukan jati diri serta identitas suatu bangsa.
    dependen = masyarakat nusantara telah mengenal sistem pendidikan keagamaan

    BalasHapus